Pemimpin, sejatinya adalah mereka yang memiliki kemampuan menjelajahi hati pengikut mereka. Hal itu ditandai dari kepemimpinannya yang apabila makin menempati posisi-posisi tinggi makin tinggi pula kearifannya. Pemimpin semacam ini mampu membangkitkan kesadaran orang-orang yang dipimpinnya, ia justru bisa membuat maju orang-orangnya. Rasulullah SAW adalah teladan utama kita. Allah SWT pun mengakui keteladanan beliau seperti disebut dalam Al Quran “Dalam diri Rasul itu terdapat suri teladan yang luhur“ (Al Ahzab 21). Jadi kalau kita yang menjadi pemimpin umat, maka logikanya kita adalah contoh keteladanan. Rakyat negeri ini akan mengikuti teladan pemimpinnya. Kalau pemimpinnya baik, rakyatnya selaku pengikut akan baik pula. Sebaliknya kalau keteladanan pemimpinnya buruk, imbasnya ialah, rakyatnya pun ikut buruk. Sehingga, kalau sudah merasa diri ini sebagai teladan, jangan pernah sedikitpun menyuruh orang lain sebelum menyuruh dirinya sendiri.
Jangan pernah melarang orang sebelum melarang diri sendiri. Allah SWT mengancam, “Hai orang-orang yang beriman , mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu perbuat ? Amat besar kebencian di sisi Allah SWT bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan“ (Al-Shaffat (37): 2-3). Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib KW pernah mengirim surat kepada Gubernur Al Asthar di Kairo. Isinya antara lain, “Pemimpin itu harus bisa melihat dengan mata rakyat, harus mengerti bahasa rakyat dan merasakan perasaan rakyat. Memajukan kemakmuran rakyat adalah tugas setiap pemimpin“. ”Orang yang mendapat kenaikan jabatan semestinya semakin rendah hati karena tanggung jawabnya semakin berat,“ tutur Umar bin Abdul Aziz.
Di zaman Tabi’in, pernah sekelompok perwakilan budak menemui seorang ulama besar, Al Hassan Al Basri RA. Mereka melaporkan praktik perbudakan yang membuat mereka menderita. Mereka memohon agar Al Hassan Al Barsi dalam khotbah Jumatnya mengimbau para pemilik budak itu terdorong untuk memerdekakan atau minimal memperlakukan budak-budaknya secara lebih manusiawi. Tapi baru pada Jumat ke empat tokoh ulama kharismatik itu menyinggung tema itu dalam khotbahnya.
Ternyata setelah mendengar khotbah tersebut, para pemilik budak itu menjadi tersentuh hatinya dan sampai waktu sore hari, hari itu, sebagian besar budak telah dibebaskan. Tidak berapa lama, para budak yang pernah mengunjungi ulama kota Basrah itu, datang menemuinya. Selain untuk mengucapkan terima kasih, juga bertanya kenapa baru minggu ke empat beliau mengangkat topik tersebut ? Bagaimana jawaban Al Hassan? “Yang membuat aku menunda pembicaraan ini adalah karena aku tidak memiliki budak dan juga tidak memiliki uang. Aku menunggu sampai Allah SWT mengaruniakan harta kepadaku, sehingga aku dapat membeli budak. Lalu budak itu aku bebaskan. Kemudian barulah aku berbicara dalam khutbah, mengajak orang untuk membebaskan budak. Allah SWT pun memberkati ucapanku karena perbuatanku membenarkan ucapanku itu“.
“Pemimpin yang diidam-idamkan adalah pemimpin yang jujur, bersih, dapat dipercaya, dan tidak mengobral janji. Ia adalah orang yang cakap, kerjanya professional, kreatif, inovatif, dan mampu mengelola sumber daya bangsa ini yang begitu dahsyat alamnya. Akhlaknya pun mulia, trampil dan bersahaja serta tidak banyak gaya,” demikian antara lain tulis Aa Gym dalam buku’Meraih Bening Hati Dengan Manajemen Qolbu‘.
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, umat Islam di sekitar Madinah ditimpa bencana kelaparan yang telah menyebabkan wabah penyakit dan kematian. Saat itu Umar bersumpah, “Saya tidak akan mengecap minyak samin dan makan daging. Bagaimana saya dapat mementingkan keadaan rakyat, kalau saya sendiri tiada merasakan yang mereka derita.” Kemudian Khalifah kedua ini melanjutkan, “Kalau negara makmur, biar saya yang terakhir menikmatinya, tapi kalau Negara dalam kesulitan biar saya yang pertama kali merasakannya“. Subhanallah. Pemerintahan yang bertaqwa, pada dunia fauna pun ia harus berbuat adil. Umar bin Khattab pernah menangis karena kematian seekor kambing milik rakyatnya. Dia berucap, “Wahai Tuhan, jangan salahkan Umar karena matinya seekor kambing rakyatnya.“
Sebuah prestasi kepemimpinan tidak dinilai dari seberapa banyak penghargaan yang telah ia terima. Tapi sebuah prastasi dinilai dari usahanya untuk menyejahterakan rakyat dan membimbing mereka ke jalan kebaikan bukan kemungkaran. Dalam hal ini dibutuhkan kesabaran dari para pemimpin. Bukankah Allah selalu beserta orang-orang yang sabar?
Dalam Islam seperti dipraktekkan Rasulullah SAW dan Khulafa’ur Rasyidin, pemerintah adalah khadam yang berkhidmad untuk rakyat. Mereka bukan saja tidak mengambil harta rakyat yang diamanahkan, bahkan harta-harta mereka pun dikorbankan untuk kepentingan Negara dan rakyat. Mereka hidup lebih zuhud daripada rakyat bahkan ketika mati tidak meninggalkan kekayaan apa-apa. Beberapa riwayat menjelaskan, Abu Bakar ketika menjadi khalifah pertama, masih membantu memerah susu untuk tetangganya seorang perempuan janda tua.Umar bin Khattab, pengganti Abu Bakar, masih mau membawa daging dengan tangan kiri dan susu di tangan kanannya. Ali bin Abi Thalib pun saat menjadi khalifah tidak segan-segan membeli daging sendiri dan membawanya pulang.Abu Hurairah saat menjadi gubernur di Madinah masih terlihat pula memikul sendiri kayu bakar untuk kebutuhan rumah tangganya .
Patut kita simak nasehat seorang ulama zaman dulu “Salah satu sifat dari pemimpin yang baik adalah bukan pendendam. Ketika telah terpilih, dia tidak memusuhi orang-orang yang tidak memilihnya. Bahkan juga tidak anti lawannya. Segera setelah pemilihan usai, persaingan pun berubah menjadi persahabatan yang sejati“. Abu Bakar bukan berpesta pora ketika diangkat menjadi khalifah menggantikan Rasulullah SAW. Beliau malah menangis. Padahal selama menjadi pendamping Rasul, beliau adalah tangan kanan terbaik Nabi. Ujar Abu Bakar, “Apa yang harus kujawab menghadapi pertanyaan Allah di hari yang dahsyat nanti?“ Wallahulam. **
Jangan pernah melarang orang sebelum melarang diri sendiri. Allah SWT mengancam, “Hai orang-orang yang beriman , mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu perbuat ? Amat besar kebencian di sisi Allah SWT bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan“ (Al-Shaffat (37): 2-3). Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib KW pernah mengirim surat kepada Gubernur Al Asthar di Kairo. Isinya antara lain, “Pemimpin itu harus bisa melihat dengan mata rakyat, harus mengerti bahasa rakyat dan merasakan perasaan rakyat. Memajukan kemakmuran rakyat adalah tugas setiap pemimpin“. ”Orang yang mendapat kenaikan jabatan semestinya semakin rendah hati karena tanggung jawabnya semakin berat,“ tutur Umar bin Abdul Aziz.
Di zaman Tabi’in, pernah sekelompok perwakilan budak menemui seorang ulama besar, Al Hassan Al Basri RA. Mereka melaporkan praktik perbudakan yang membuat mereka menderita. Mereka memohon agar Al Hassan Al Barsi dalam khotbah Jumatnya mengimbau para pemilik budak itu terdorong untuk memerdekakan atau minimal memperlakukan budak-budaknya secara lebih manusiawi. Tapi baru pada Jumat ke empat tokoh ulama kharismatik itu menyinggung tema itu dalam khotbahnya.
Ternyata setelah mendengar khotbah tersebut, para pemilik budak itu menjadi tersentuh hatinya dan sampai waktu sore hari, hari itu, sebagian besar budak telah dibebaskan. Tidak berapa lama, para budak yang pernah mengunjungi ulama kota Basrah itu, datang menemuinya. Selain untuk mengucapkan terima kasih, juga bertanya kenapa baru minggu ke empat beliau mengangkat topik tersebut ? Bagaimana jawaban Al Hassan? “Yang membuat aku menunda pembicaraan ini adalah karena aku tidak memiliki budak dan juga tidak memiliki uang. Aku menunggu sampai Allah SWT mengaruniakan harta kepadaku, sehingga aku dapat membeli budak. Lalu budak itu aku bebaskan. Kemudian barulah aku berbicara dalam khutbah, mengajak orang untuk membebaskan budak. Allah SWT pun memberkati ucapanku karena perbuatanku membenarkan ucapanku itu“.
“Pemimpin yang diidam-idamkan adalah pemimpin yang jujur, bersih, dapat dipercaya, dan tidak mengobral janji. Ia adalah orang yang cakap, kerjanya professional, kreatif, inovatif, dan mampu mengelola sumber daya bangsa ini yang begitu dahsyat alamnya. Akhlaknya pun mulia, trampil dan bersahaja serta tidak banyak gaya,” demikian antara lain tulis Aa Gym dalam buku’Meraih Bening Hati Dengan Manajemen Qolbu‘.
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, umat Islam di sekitar Madinah ditimpa bencana kelaparan yang telah menyebabkan wabah penyakit dan kematian. Saat itu Umar bersumpah, “Saya tidak akan mengecap minyak samin dan makan daging. Bagaimana saya dapat mementingkan keadaan rakyat, kalau saya sendiri tiada merasakan yang mereka derita.” Kemudian Khalifah kedua ini melanjutkan, “Kalau negara makmur, biar saya yang terakhir menikmatinya, tapi kalau Negara dalam kesulitan biar saya yang pertama kali merasakannya“. Subhanallah. Pemerintahan yang bertaqwa, pada dunia fauna pun ia harus berbuat adil. Umar bin Khattab pernah menangis karena kematian seekor kambing milik rakyatnya. Dia berucap, “Wahai Tuhan, jangan salahkan Umar karena matinya seekor kambing rakyatnya.“
Sebuah prestasi kepemimpinan tidak dinilai dari seberapa banyak penghargaan yang telah ia terima. Tapi sebuah prastasi dinilai dari usahanya untuk menyejahterakan rakyat dan membimbing mereka ke jalan kebaikan bukan kemungkaran. Dalam hal ini dibutuhkan kesabaran dari para pemimpin. Bukankah Allah selalu beserta orang-orang yang sabar?
Dalam Islam seperti dipraktekkan Rasulullah SAW dan Khulafa’ur Rasyidin, pemerintah adalah khadam yang berkhidmad untuk rakyat. Mereka bukan saja tidak mengambil harta rakyat yang diamanahkan, bahkan harta-harta mereka pun dikorbankan untuk kepentingan Negara dan rakyat. Mereka hidup lebih zuhud daripada rakyat bahkan ketika mati tidak meninggalkan kekayaan apa-apa. Beberapa riwayat menjelaskan, Abu Bakar ketika menjadi khalifah pertama, masih membantu memerah susu untuk tetangganya seorang perempuan janda tua.Umar bin Khattab, pengganti Abu Bakar, masih mau membawa daging dengan tangan kiri dan susu di tangan kanannya. Ali bin Abi Thalib pun saat menjadi khalifah tidak segan-segan membeli daging sendiri dan membawanya pulang.Abu Hurairah saat menjadi gubernur di Madinah masih terlihat pula memikul sendiri kayu bakar untuk kebutuhan rumah tangganya .
Patut kita simak nasehat seorang ulama zaman dulu “Salah satu sifat dari pemimpin yang baik adalah bukan pendendam. Ketika telah terpilih, dia tidak memusuhi orang-orang yang tidak memilihnya. Bahkan juga tidak anti lawannya. Segera setelah pemilihan usai, persaingan pun berubah menjadi persahabatan yang sejati“. Abu Bakar bukan berpesta pora ketika diangkat menjadi khalifah menggantikan Rasulullah SAW. Beliau malah menangis. Padahal selama menjadi pendamping Rasul, beliau adalah tangan kanan terbaik Nabi. Ujar Abu Bakar, “Apa yang harus kujawab menghadapi pertanyaan Allah di hari yang dahsyat nanti?“ Wallahulam. **
Judul: Pemimpin yang Didamba
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Writen By Anonim
Thaks For Visiting My Blogs
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Writen By Anonim
Thaks For Visiting My Blogs