lapaku.com
Home » » Bagai Unta yang Tak Ditambatkan

Bagai Unta yang Tak Ditambatkan

Indah sekali mengenang masa itu.
Saat matahari masih malu-malu menampakkan wajahnya, usai sholat subuh langsung kupaksa membawa badanku bergelayutan di bis Mayasari 57. Dari Rawamangun, mengejar jam 05.30 harus sudah sampai di Masjid Al-Hikmah Jl Bangka. Sepekan 3 kali, mengikuti LTQ. Perjalanan yang berulang, 3,5 tahun lamanya, 1993-1997.

Seperti biasa, aku berdiri penuh sesak di dalam bis, dengan macam2 aroma keringat bercampur minyak wangi. Sambil tangan kanan berpegangan kursi agar badan tidak oleng, pikiran harus tetap konsentrasi dengan mulut komat-kamit mengulang-ulang hafalan yang akan disetorkan sebentar lagi. Sesekali terpaksa juga aku membuka contekan dari Quran saku di tangan kiri. Huff, tak boleh tak hapal! Ketemu ustadz sebentar lagi, jika hapalan tak lancar atau kurang dari 2 halaman, siap-siaplah disuruh balik kanan. Hiks .. (sudah jauh2 naik bis berdesakan dari rawamangun-mampang, masak suruh balik tanpa setor hapalan? No way!)

Lain waktu, saat tiap hari kurasakan waktu pagi serasa berlari-lari, terpaksa kuubah jadwal LTQ. Memaksakan diri setor hafalan sore hari menjelang senja, sepulang kuliah dirosah yang juga sepekan 3 kali. Pyuhh, ini jauh lebih berrraaat. Terlalu banyak polusi yang meracuni hati dan menyedot energi. Pagi-pagi sudah harus kuliah di kampus rawamangun, tepat jam 11.30 berlari-lari mengejar bus kota mayasari 57 menuju jl bangka, buru-buru makan siang & sholat dzuhur. Makan serasa gak dikunyah, langsung telan saja saking buru-burunya. Lalu langsung masuk kelas di ma’had sampai jam 16. Lalu buru-buru lagi sholat ashar dan setengah berlari menuju masjid. Sejenak mengatur nafas, dan siap-siap setoran hafalan di depan ustadz yang sudah menunggu.

Kadang, ustad bertanya sebelum aku sempat membuka mulut menyetorkan hafalanku, “Mau berapa lembar?”
Dengan malu2 kujawab, ”Cuma 1 halaman ustadz, afwan”
Kata ustad lagi, “Kalau begitu, lancarkan lagi saja dulu. Buat setoran lusa ya, langsung 3 lembar!”
Wuaaa, setoran hafalanku yang sudah di ujung mulut, terpaksa kutelan lagi. Huff, beginilah kalau pecah konsentrasi. Siapa suruh setoran sore2, saat energi sudah hampir habis dan pikiran sulit diajak kompromi?

Hiks.. hiks, pulang selepas maghrib ke rawamangun dengan rasa nelangsa. Merasa sia-sia. Gontai aku melangkah. Esok lusa tak boleh begini lagi!

Terus, bagaimana caranya agar tak ditolak lagi hafalanku? Aha! Nemu ide. Kurayu teman sekamar di kos2an untuk sama2 mendaftar LTQ. Alhamdulillah, meski berbeda semester (karena dia baru mendaftar), lumayanlah jadi dapet sparing partner untuk muroja’ah bersama atau saling simak hafalan. Selepas subuh, atau menjelang tidur malam, adalah waktu-waktu istimewa di kamarku, untuk saling menyimak hafalan. Kadang saking terhanyutnya, malah jadi nangis berdua. Hik… hiks….

Lalu, cara apa lagi ya?
Hmm, supaya badan tak terlalu capek, aku kadang memilih mengungsi ke kos2an teman2 yang ikut LTQ. Rumah kontrakan bersahaja dari grup IMADO, teman2 dari kampus ‘lama’, yang lalu berkumpul mengontrak bersama di Jln Bangka. Inilah rumah keduaku. Dengan lokasi dekat masjid Al-Hikmah dan hampir seluruh penghuni kost ikut LTQ, suasana sangat terkondisi untuk saling cek hapalan. Meski akhirnya aku harus rela pagi2 buta selepas subuh berkejaran dengan matahari untuk ke rawamangun lagi, kuliah dulu.Yah gakpapalah, dari pada sudah datang menghadap ustadz tapi cuma disuruh pulang :(

Ustad memang punya cara jitu, untuk 'memaksakan' berbagai kebaikan padaku. Untuk laporan tilawah harian, kadang sudah ditandatanganinya laporan akhir bulan dan ditulis di situ ‘khatam’ dalam bahasa arab. Tinggal aku yang terbirit-birit, mengejar supaya bisa khatam Quran tiap akhir bulan. Padahal kan kalau perempuan kepotong hari-hari ‘larangan’ juga, yang buatku cukup panjang masanya. Jadi, otomatis sehari harus tilawah lebih dari 1 juz kalau tak mau ditegur ustadz pas akhir bulan. Hmm, cerdik juga nih usdtadz :)

Ustadz juga dengan baik hati rela merekamkan murottal Al-Mathrud 30 juz dalam 30 kaset, semata agar hafalanku bisa terbantu dengan banyak menyimak. Waktu itu , memang pilihan kaset-kaset murottal belum sebanyak sekarang. Kalau pun ada, harganya masih sangat mahal untuk ukuran kocek mahasiswa S1 seperti aku, yang harus hidup mandiri tanpa kiriman wesel dari ortu di tengah kerasnya hidup di ibukota. Jadi, lebih baik beli kaset kosong lalu direkam sendiri, akan jauh lebih murah jatuh harganya. Saking inginnya punya koleksi murottal Qur’an 30 juz, kalau pas ke toko buku Islam dan melihat paket murottal dalam tas besar, sambil ngiler aku iseng bergumam, “Nanti kalau ada ikhwah yg melamar aku, aku mau minta mahar paket kaset murottal ini saja," Hihihi :P

Ustadz juga dengan baik hati sampai memberikan ancer-ancer toko tempat untuk membeli tape recorder saku yang murah di glodog, agar tape itu dapat kubawa kemana-mana untuk menyimak hafalan. Setelah kesampaian beli tape itu, memang terasa jauh lebih efektif untuk mengulang hafalan. Setidaknya jika pikiranku sudah letih dan mulutku sudah capek komat-kamit, maka gilirannya telingaku bekerja untuk menyimak ayat-ayat itu. Di mana saja... di dalam bis, sambil ngobrol degn teman2, tape itu bisa kusembunyikan di saku dan aku bisa menyambi menyimak Qur’an (sst, kadang juga kusetel pas kuliah, terutama kalau doseenya membuat aku ngantuk. Hihi, nakal ya?). Kadang juga kusetel sambil tiduran, sampai tanpa sadar tertidur pulas dengan ear phone masih menempel di telinga. Kalau sekarang, tentu lebih praktis lagi ya, ada MP4? Harusnya aku tetap bisa menyimak hafalan anytime dengan MP4-ku. Huh, dasar semangatnya aja ni yang sudah melempem, terlalu banyak godaan yang menyilaukan. Badan serasa robot dikejar2 kerjaan tiada henti. Astaghfirul-Lah…

Jika sedang ke LTQ, kadang, saat menunggu waktu setoran hafalan di masjid, aku iri melihat kelompok khusus anak-anak, dengan jilbab mungil mereka. Sambil menghafal, mereka tetap ceria. Kadang malah sambil main bekel dengan tangan kanan, dan tangan kiri memegang Quran saku. Sebagian anak itu juga main berkejar-kejaran dengan teman-temannya, namun tak lama kemudian duduk khusyu' mengulang hafalan. Kadang mereka menghafal sambil bercanda, sambil saling colak-colek, tetapi kulihat mulut mereka tetap komat-kamit mengulang hafalan.

Duhai, apakah anak-anakku nanti dapat seperti mereka? Apakah aku sebagai ibunya dapat mengajarkan hafalan Quran dengan mudah pada anak-anakku? Hiks, mungkin aku sangat terlambat, baru setelah segede begini ikut LTQ. Saat otak sudah serasa berkarat. Hafal sekarang, besok lupa lagi. Menambah hafalan yang baru, hafalan yang lama berantakan lagi :(

Dan kini, serasa makin terseok-seok saja langkahku menjaga hafalanku. Aduh, ibu macam apa aku ini? Bagaimana aku berharap anak-anak dapat menjadi hafidz Quran jika ibunya saja tak memberikan contoh yang baik? Bagaimana jika saatnya kuminta mereka menghafal surat tertentu dan hafalanku sudah berantakan untuk surat yang itu, lalu mereka berkata, “Ah, ibu saja gak hapal. Masak aku harus hapal?”

Duh, Rabbi… ampuni aku. Dulu aku sangat bersemangat ikut LTQ, semata-mata membayangkan bahwa aku harus punya anak-anak yang menjadi penghapal Quran! Seperti anak2 bu Wiwik, kesepuluh anak yang menjadi para bintang Al-Quran itu. Mereka anak-anak yang kukenal cukup baik dan sangat membuatku terobsesi untuk kelak saat menikah dan memiliki anak nanti, aku bisa seperti keluarga yang penuh barokah itu

Hiks.. tapi, apa kenyataannya kini? Kok jadi berantakan begini hafalanku?
Merenungi hafalanku kini, tak terasa, air mata ku pun titik :(

Sungguh aku rindu
menghafal dan mengulang-ulang ayatMu
melingkar khusyu’ bersama teman-teman
melewati malam-malam syahdu
mendengung-dengung laksana lebah

Sungguh aku ingin
bisa memaksakan diri seperti dulu
mengulang hafalan tiap malam
hingga kadang tanpa terasa
mata telah terpejam
dengan Qur’an saku dalam dekapan

Rabbi
sungguh ingin kueja alif-ba-ta Mu
selancar dan seghirah dulu

Rabbi
ampuni aku
karna hafalanku kini
beterbangan entah kemana
tak utuh lagi
tak jelas lagi

Rabbi
berikan aku kekuatan
mengumpulkan kembali
remah-remah hafalanku
yang berserakan
Jangan biarkan hafalanku
berlari kencang
bagai unta yang tak ditambatkan

Mukti Amini
Judul: Bagai Unta yang Tak Ditambatkan
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Writen By Anonim

Thaks For Visiting My Blogs
Comments
0 Comments

0 komentar: