“Ah … dasar lu, setan !”.
Pernahkah kita mendengar ungkapan kekesalan atau bercanda seperti itu? Atau pernahkan spontanitas kita yang melontarkannya dari lidah sendiri?
Karena lupa atau tak terbiasa mengucap kalimat thoyyibah, setan sering menjadi sebutan paforit. Ungkapan senda gurau, kesal, marah atau kecewa sering berujung pada kata setan. Alamatnya bisa jadi teman, suami, isteri, saudara bahkan orang tua atau anak sendiri.
Setan juga menjadi paforit di TV. Sinetron, film, infoteinment atau lawakan juga seringkali meminjam sebutan setan. Tidak sedikit reality show bahkan menyuguhkan tontonan yang mengambil objek dan subjeknya adalah juga, setan. Maka, setan bukan saja dipaforitkan dalam sebutan tapi juga dalam tontonan.
Setan bersorak sorai. Setan merasa disenangkan oleh manusia. Dan manusia tidak menyadari telah berbuat baik kepadanya.
Sebenarnya cukup aneh kalau ada manusia bersedia menyenangkan setan meskipun tanpa sengaja. Karena sesungguhnya, setan sendiri tidak pernah ingin menyenangkan manusia. Bahkan sebaliknya, setan bahkan bertekad sekuat tenaga untuk menyesengsarakan manusia sejak awal mula hidupnya di dunia sampai kepada kehidupan abadinya di akhirat. Di sini telah pasti, seolah setan menyenangkan manusia dengan ”kesenangan semu” padahal hakikatnya adalah kesengsaraan abadi.
Sering kita bertanya, apa dan siapa sih sesungguhnya setan itu? Bisa jadi ada orang mengira, ini pertanyaan basi dan kurang penting. Salah satu alasannya, apalah artinya bicara tentang setan, bukankah lebih baik bicara soal manusia saja? Lebih manfaat, aplikatif dan manusiawi.
Mungkin pernyataan seperti itu tidak sepenuhnya salah. Kelihatannya seperti pernyataan yang logis. Tetapi nyatanya tidak demikian. Menganggap memahami persoalan setan adalah soal basi, tidak bermanfaat, tidak aplikatif dan tidak manusiawi justeru tidak mengakar secara idiologis. Nyatanya, Al-Qur’an sebagai kitab yang diturunkan untuk manusia begitu banyak memberitahu manusia tentang setan. Bahkan yang sering disinggung oleh Al-Qur’an tentang setan adalah bagaimana manusia harus berhadapan dengan tipu dayanya. Bukankah ini lebih manusiawi?
Tidak dapat dipungkiri, mengenal lebih cermat tentang setan dapat menjadi bekal dalam menghadapi kemungkinan godaannya. Manusia mengenal setan bukan untuk mengutuknya, sebab label terkutuk telah Allah sematkan di atas pundaknya. Kalaupun manusia mengutuknya, itu hanyalah mengulang apa yang telah Allah tetapkan atasnya (QS. Al-Hijr [15] :34). Manusia mengenal setan bukan untuk lari darinya, sebab nyatanya setan mengepung manusia dari arah depan, belakang, samping kanan dan kirinya (QS. Al-A’raf [7] :17). Manusia mengenal setan bukan untuk menyalahkannya, sebab manusia telah diberi hati nurani dan akal untuk menimbang baik buruk urusannya (QS. Al-Ma’idah [5] :100). Yang terpenting, mengenal setan bukan untuk menjadikan dia sebagai kawan karib, sebab sejatinya setan adalah musuh yang paling nyata dalam hidupnya. Tentang hal ini, begitu sering Al-Qur’an mengingatkan manusia. Tak ada manusia yang selamat dari setan, selain manusia yang mendapat perlindungan Allah di seluruh nafas hidupnya.
Sadarkah kita, bahwa suatu saat duplikasi perbuatan setan ada melekat dalam performa kita? Tapi jangan salahkan setan sekali lagi, karena kita punya hati, akal dan iman yang membimbing keduanya.
Pernahkah kita tergesa-gesa dalam satu urusan?
Ketergesaan pernah disebut berasal dari setan (al’ajalatu min al-syaithaan). Tergesa-gesa menuduh dan mengambil kesimpulan, tergesa-gesa menjatuhkan hukuman, tergesa-gesa dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, tergesa-gesa dalam urusan ibadah dan sebagainya. Semua ketergesaan adalah buruk, melanggar keteraturan dan besar kemungkinan hanya melahirkan ketidaksempurnaan urusan dalam batas toleransi manusiawi.
Banyak kecelakaan menimpa seseorang karena tergesa-gesa dan hilang kesabaran serta kehati-hatian. Di rumah, di jalan, di kantor, di pengadilan, di kantor polisi dan di mana tempat ketergesaan sering menimbulkan masalah. Tidak sedikit pula orang kehilangan sesuatu yang berharga dari miliknya karena bersikap terburu-buru lalu membuatnya menyesal di kemudian hari.
Ibnu Abbas ra meriwayatakan, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda pada Asyaj Abdul Qois, ”Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai oleh Allah, yaitu sabar dan tidak tergesa-gesa”.(Al-Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 586.) Di lain waktu sahabat Anas ra. meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,” Sifat perlahan-lahan (sabar) berasal dari Allah. Sedangkan sifat ingin tergesa-gesa itu berasal dari setan”. (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya dan Al-Baihaqi dalam Sunanul Qubro).
Samakah tergesa-gesa dengan segara menyegerakan suatu urusan?
Mungkin beda-beda tipis. Hanya saja, menyegerakan suatu urusan tidak mesti dilakukan dengan tergesa-gesa atau terburu-buru. Kesegeraannya tetap harus ditunaikan dengan cermat, hati-hati, sabar dan dalam rangka pemenuhan kewajiban yang harus didahulukan dari urusan yang lain. Segera menyuguh tamu, segera menangani pengurusan jenazah, segera mengawinkan anak perempuan bila telah baligh dan datang jodohnya, segera membayar hutang setelah tiba saat pembayaraan, dan segera bertaubat jika terlanjur berbuat dosa merupakan beberapa contoh yang disunnahkan segera dilakukan. Dan, tidak mesti terburu-buru bukan?
Pernahkah kita tertawa terbahak-bahak?
Kita sering mendengar ungkapan ”tertawa itu sehat”, tetapi juga ada riwayat, ”banyak tertawa mematikan hati”.
Tertawa seperti juga menangis adalah fitrah. Bahkan keduanya sebagian dari nikmat yang Allah beri kepada manusia. Nikmat tertawa memberikan rasa senang dan gembira sedangkan menangis memberikan rasa nikmat dalam menumpahakan kesedihan. Tidak lengkap rasanya suatu kesedihan sebelum ditumpahkan dalam tangis yang wajar. Pengharapan ampunan saat tersungkur di atas sajadah taubat, terasa melegakan dada dengan hadirnya isak tangis dan air mata penyesalan. Bahkan dalam kasus tertentu, kegembiraan pun sering dibahasakan dengan tangisan sebagai yang disebut ’tangis bahagia’. Maka di sini, ada waktunya bahwa manusia tidak bisa menghindari dari tertawa atau menangis. Demi Keagungan-Nya, tertawa dan menangis adalah sedikit bagian dari pembuktian kebenaran Allah atas kuasa dan firman-Nya,”
"dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis," (QS. An-Najm [53]:43).
Lalu di mana salahnya tertawa?
Selama tertawa itu tidak melebihi takaran tabiat dan tidak berbenturan dengan akhlak yang kariimah seperti yang isyaratkan Nabi, maka tidak ada yang salah dengan tertawa. Di sinilah celah bagi akal untuk memahami dan iman mematuhi akhlak mengapa banyak tertawa dapat mamatikan hati seperti yang disinggung di awal. Tentunya adalah tertawa yang ghuluw sehingga menyebabkan orang lupa diri dari mengingat Allah, menimbulkan permusuhan, dengan maksud mengejek dan sebagainya. ”Tertawa itu ada dua macam. tertawa yang disukai Allah dan tertawa yang dibenci Allah. Tertawa yang disukai Allah yaitu senyumnya seorang di depan saudaranya karena teringat masa lalu yang menggelikan. Sedangkan tertawa yang dibenci Allah adalah seseorang yang berkata-kata dengan perkataan konyol dan batil agar dia bisa tertawa dan juga ditertawakan orang lain. Maka orang ini akan dibenamkan ke dalam neraka jahannam selama tujuh puluh tahun”, demikian satu riwayat Imam Ahmad dari Al Hasan.
Abu Hurairah radhiayallahu ’anhu pernah menyampaikan satu riwayat,” alqohqohatu minasyaithaani wattabassumu minallaah”, (terbahak-bahak itu dari setan adapun tersenyum itu dari Allah). Para sahabat pernah pula menegaskan bahwa tertawanya para Nabi adalah tersenyum, tetapi tertawanya setan adalah terbahak-bahak.
Terbahak-bahak sampai lupa diri apalagi dengan mencari jalan supaya bisa tertawa demikian patut diwaspadai sebagai tipu daya setan yang dapat melalaikan pada kebajikan. Maka patutlah diindahkan pesan Allah, : "Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan." (QS. At-Taubah [9] :82). Abu Dzar ra. mengingatkan juga dalam hal ini, Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda, "Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa, ...." .
Pernahkah berlaku tabdzir (boros)?
Membeli sesuatu yang sebenarnya kita tidak terlalu membutuhkan termasuk dalam kategori ini. Untuk apa membeli sepotong gaun sementara lemari-lemari kita telah penuh sesak dengan pakaian? Untuk apalagi sepasang sepatu, sementara di atas rak sepatu telah berjejer menanti giliran kapan ia dikenakan? Berapa ribu butir nasi yang disisakan setiap kali pesta digelar terbuang tak dihargai? Bahkan saat lebaran tiba, tidak sedikit ketupat menghitam dan basi dan aneka sayur serta lauk pauk harus berakhir tragis di bak sampah. ”Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Isra [17] : 27).
Pernahkah makan minum dengan tangan kiri?
Pernahkah panjang angan-angan menghayal yang tak pasti?
Pernahkan mencoba judi, minum khamer atau mengundi nasib?
Pernahkah ...?
Setan bukan untuk dipersalahkan, hanya untuk diwaspadai dari tertipu dan terjebak pada bujuk rayunya. Janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan. Setan yang pandai menipu, memperdayakan siapa saja tentang Allah. (QS. Faathir [35] :5).
Setan bukan untuk dipersalahkan, sebab sewaktu masih di dunia, setan sudah menyatakan berlepas diri atas manusia yang berhasil diprovokasi tipui dayanya. ”Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan: "Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadap kamu pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu". Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling lihat melihat (berhadapan), setan itu balik ke belakang seraya berkata: "Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu; sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut kepada Allah". Dan Allah sangat keras siksa-Nya.(QS. Al-Anfaal [8] : 48). Allahu a’lam.
Kami berlindung kepada-Mu Ya Allah dari godaan setan yang terkutuk. Peliharalah di kami dari berulah seidentik dengan setan. Na’udzu billaah.
Pernahkah kita mendengar ungkapan kekesalan atau bercanda seperti itu? Atau pernahkan spontanitas kita yang melontarkannya dari lidah sendiri?
Karena lupa atau tak terbiasa mengucap kalimat thoyyibah, setan sering menjadi sebutan paforit. Ungkapan senda gurau, kesal, marah atau kecewa sering berujung pada kata setan. Alamatnya bisa jadi teman, suami, isteri, saudara bahkan orang tua atau anak sendiri.
Setan juga menjadi paforit di TV. Sinetron, film, infoteinment atau lawakan juga seringkali meminjam sebutan setan. Tidak sedikit reality show bahkan menyuguhkan tontonan yang mengambil objek dan subjeknya adalah juga, setan. Maka, setan bukan saja dipaforitkan dalam sebutan tapi juga dalam tontonan.
Setan bersorak sorai. Setan merasa disenangkan oleh manusia. Dan manusia tidak menyadari telah berbuat baik kepadanya.
Sebenarnya cukup aneh kalau ada manusia bersedia menyenangkan setan meskipun tanpa sengaja. Karena sesungguhnya, setan sendiri tidak pernah ingin menyenangkan manusia. Bahkan sebaliknya, setan bahkan bertekad sekuat tenaga untuk menyesengsarakan manusia sejak awal mula hidupnya di dunia sampai kepada kehidupan abadinya di akhirat. Di sini telah pasti, seolah setan menyenangkan manusia dengan ”kesenangan semu” padahal hakikatnya adalah kesengsaraan abadi.
Sering kita bertanya, apa dan siapa sih sesungguhnya setan itu? Bisa jadi ada orang mengira, ini pertanyaan basi dan kurang penting. Salah satu alasannya, apalah artinya bicara tentang setan, bukankah lebih baik bicara soal manusia saja? Lebih manfaat, aplikatif dan manusiawi.
Mungkin pernyataan seperti itu tidak sepenuhnya salah. Kelihatannya seperti pernyataan yang logis. Tetapi nyatanya tidak demikian. Menganggap memahami persoalan setan adalah soal basi, tidak bermanfaat, tidak aplikatif dan tidak manusiawi justeru tidak mengakar secara idiologis. Nyatanya, Al-Qur’an sebagai kitab yang diturunkan untuk manusia begitu banyak memberitahu manusia tentang setan. Bahkan yang sering disinggung oleh Al-Qur’an tentang setan adalah bagaimana manusia harus berhadapan dengan tipu dayanya. Bukankah ini lebih manusiawi?
Tidak dapat dipungkiri, mengenal lebih cermat tentang setan dapat menjadi bekal dalam menghadapi kemungkinan godaannya. Manusia mengenal setan bukan untuk mengutuknya, sebab label terkutuk telah Allah sematkan di atas pundaknya. Kalaupun manusia mengutuknya, itu hanyalah mengulang apa yang telah Allah tetapkan atasnya (QS. Al-Hijr [15] :34). Manusia mengenal setan bukan untuk lari darinya, sebab nyatanya setan mengepung manusia dari arah depan, belakang, samping kanan dan kirinya (QS. Al-A’raf [7] :17). Manusia mengenal setan bukan untuk menyalahkannya, sebab manusia telah diberi hati nurani dan akal untuk menimbang baik buruk urusannya (QS. Al-Ma’idah [5] :100). Yang terpenting, mengenal setan bukan untuk menjadikan dia sebagai kawan karib, sebab sejatinya setan adalah musuh yang paling nyata dalam hidupnya. Tentang hal ini, begitu sering Al-Qur’an mengingatkan manusia. Tak ada manusia yang selamat dari setan, selain manusia yang mendapat perlindungan Allah di seluruh nafas hidupnya.
Sadarkah kita, bahwa suatu saat duplikasi perbuatan setan ada melekat dalam performa kita? Tapi jangan salahkan setan sekali lagi, karena kita punya hati, akal dan iman yang membimbing keduanya.
Pernahkah kita tergesa-gesa dalam satu urusan?
Ketergesaan pernah disebut berasal dari setan (al’ajalatu min al-syaithaan). Tergesa-gesa menuduh dan mengambil kesimpulan, tergesa-gesa menjatuhkan hukuman, tergesa-gesa dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, tergesa-gesa dalam urusan ibadah dan sebagainya. Semua ketergesaan adalah buruk, melanggar keteraturan dan besar kemungkinan hanya melahirkan ketidaksempurnaan urusan dalam batas toleransi manusiawi.
Banyak kecelakaan menimpa seseorang karena tergesa-gesa dan hilang kesabaran serta kehati-hatian. Di rumah, di jalan, di kantor, di pengadilan, di kantor polisi dan di mana tempat ketergesaan sering menimbulkan masalah. Tidak sedikit pula orang kehilangan sesuatu yang berharga dari miliknya karena bersikap terburu-buru lalu membuatnya menyesal di kemudian hari.
Ibnu Abbas ra meriwayatakan, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda pada Asyaj Abdul Qois, ”Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai oleh Allah, yaitu sabar dan tidak tergesa-gesa”.(Al-Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 586.) Di lain waktu sahabat Anas ra. meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,” Sifat perlahan-lahan (sabar) berasal dari Allah. Sedangkan sifat ingin tergesa-gesa itu berasal dari setan”. (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya dan Al-Baihaqi dalam Sunanul Qubro).
Samakah tergesa-gesa dengan segara menyegerakan suatu urusan?
Mungkin beda-beda tipis. Hanya saja, menyegerakan suatu urusan tidak mesti dilakukan dengan tergesa-gesa atau terburu-buru. Kesegeraannya tetap harus ditunaikan dengan cermat, hati-hati, sabar dan dalam rangka pemenuhan kewajiban yang harus didahulukan dari urusan yang lain. Segera menyuguh tamu, segera menangani pengurusan jenazah, segera mengawinkan anak perempuan bila telah baligh dan datang jodohnya, segera membayar hutang setelah tiba saat pembayaraan, dan segera bertaubat jika terlanjur berbuat dosa merupakan beberapa contoh yang disunnahkan segera dilakukan. Dan, tidak mesti terburu-buru bukan?
Pernahkah kita tertawa terbahak-bahak?
Kita sering mendengar ungkapan ”tertawa itu sehat”, tetapi juga ada riwayat, ”banyak tertawa mematikan hati”.
Tertawa seperti juga menangis adalah fitrah. Bahkan keduanya sebagian dari nikmat yang Allah beri kepada manusia. Nikmat tertawa memberikan rasa senang dan gembira sedangkan menangis memberikan rasa nikmat dalam menumpahakan kesedihan. Tidak lengkap rasanya suatu kesedihan sebelum ditumpahkan dalam tangis yang wajar. Pengharapan ampunan saat tersungkur di atas sajadah taubat, terasa melegakan dada dengan hadirnya isak tangis dan air mata penyesalan. Bahkan dalam kasus tertentu, kegembiraan pun sering dibahasakan dengan tangisan sebagai yang disebut ’tangis bahagia’. Maka di sini, ada waktunya bahwa manusia tidak bisa menghindari dari tertawa atau menangis. Demi Keagungan-Nya, tertawa dan menangis adalah sedikit bagian dari pembuktian kebenaran Allah atas kuasa dan firman-Nya,”
"dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis," (QS. An-Najm [53]:43).
Lalu di mana salahnya tertawa?
Selama tertawa itu tidak melebihi takaran tabiat dan tidak berbenturan dengan akhlak yang kariimah seperti yang isyaratkan Nabi, maka tidak ada yang salah dengan tertawa. Di sinilah celah bagi akal untuk memahami dan iman mematuhi akhlak mengapa banyak tertawa dapat mamatikan hati seperti yang disinggung di awal. Tentunya adalah tertawa yang ghuluw sehingga menyebabkan orang lupa diri dari mengingat Allah, menimbulkan permusuhan, dengan maksud mengejek dan sebagainya. ”Tertawa itu ada dua macam. tertawa yang disukai Allah dan tertawa yang dibenci Allah. Tertawa yang disukai Allah yaitu senyumnya seorang di depan saudaranya karena teringat masa lalu yang menggelikan. Sedangkan tertawa yang dibenci Allah adalah seseorang yang berkata-kata dengan perkataan konyol dan batil agar dia bisa tertawa dan juga ditertawakan orang lain. Maka orang ini akan dibenamkan ke dalam neraka jahannam selama tujuh puluh tahun”, demikian satu riwayat Imam Ahmad dari Al Hasan.
Abu Hurairah radhiayallahu ’anhu pernah menyampaikan satu riwayat,” alqohqohatu minasyaithaani wattabassumu minallaah”, (terbahak-bahak itu dari setan adapun tersenyum itu dari Allah). Para sahabat pernah pula menegaskan bahwa tertawanya para Nabi adalah tersenyum, tetapi tertawanya setan adalah terbahak-bahak.
Terbahak-bahak sampai lupa diri apalagi dengan mencari jalan supaya bisa tertawa demikian patut diwaspadai sebagai tipu daya setan yang dapat melalaikan pada kebajikan. Maka patutlah diindahkan pesan Allah, : "Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan." (QS. At-Taubah [9] :82). Abu Dzar ra. mengingatkan juga dalam hal ini, Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda, "Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa, ...." .
Pernahkah berlaku tabdzir (boros)?
Membeli sesuatu yang sebenarnya kita tidak terlalu membutuhkan termasuk dalam kategori ini. Untuk apa membeli sepotong gaun sementara lemari-lemari kita telah penuh sesak dengan pakaian? Untuk apalagi sepasang sepatu, sementara di atas rak sepatu telah berjejer menanti giliran kapan ia dikenakan? Berapa ribu butir nasi yang disisakan setiap kali pesta digelar terbuang tak dihargai? Bahkan saat lebaran tiba, tidak sedikit ketupat menghitam dan basi dan aneka sayur serta lauk pauk harus berakhir tragis di bak sampah. ”Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Isra [17] : 27).
Pernahkah makan minum dengan tangan kiri?
Pernahkah panjang angan-angan menghayal yang tak pasti?
Pernahkan mencoba judi, minum khamer atau mengundi nasib?
Pernahkah ...?
Setan bukan untuk dipersalahkan, hanya untuk diwaspadai dari tertipu dan terjebak pada bujuk rayunya. Janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan. Setan yang pandai menipu, memperdayakan siapa saja tentang Allah. (QS. Faathir [35] :5).
Setan bukan untuk dipersalahkan, sebab sewaktu masih di dunia, setan sudah menyatakan berlepas diri atas manusia yang berhasil diprovokasi tipui dayanya. ”Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan: "Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadap kamu pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu". Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling lihat melihat (berhadapan), setan itu balik ke belakang seraya berkata: "Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu; sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut kepada Allah". Dan Allah sangat keras siksa-Nya.(QS. Al-Anfaal [8] : 48). Allahu a’lam.
Kami berlindung kepada-Mu Ya Allah dari godaan setan yang terkutuk. Peliharalah di kami dari berulah seidentik dengan setan. Na’udzu billaah.
Depok, Mei 2010.
abdul_mutaqin@yahoo.com
abdul_mutaqin@yahoo.com
Judul: Jangan Pernah Identik Dengan Setan
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Writen By Anonim
Thaks For Visiting My Blogs
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Writen By Anonim
Thaks For Visiting My Blogs