Allah ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia yang artinya, “Itulah janji Allah. Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Ruum [30]: 6)
Ibnu Katsir menjelaskan di dalam tafsirnya, “Sedangkan firman-Nya ta’ala ‘Itulah janji Allah. Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya.’ Artinya: Inilah yang Kami beritakan kepadamu hai Muhammad, bahwasanya Kami benar-benar akan memenangkan Romawi dalam melawan Persia, itulah janji yang benar dari Allah, sebuah berita yang jujur dan tidak akan meleset. Hal itu pasti terjadi. Karena ketetapan Allah yang telah berlaku menuntut-Nya untuk memenangkan salah satu kelompok yang lebih dekat kepada kebenaran di antara dua kubu yang saling memerangi. Dan Allah pasti akan memberikan pertolongan kepada mereka. ‘Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui’, artinya mereka tidak mengetahui hukum kauniyah Allah serta perbuatan-perbuatan-Nya yang sangat cermat dan selalu bergulir di atas prinsip keadilan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/168)
Kemudian Allah ta’ala berfirman tentang mereka -yaitu kebanyakan manusia- yang artinya, “Mereka mengetahui sisi lahiriyah kehidupan dunia, akan tetapi terhadap perkara akhirat mereka lalai.” (QS. Ar Ruum [30]: 7)
Ibnu Katsir kembali memaparkan, “Artinya kebanyakan manusia tidak memiliki ilmu kecuali dalam urusan dunia, tata cara menggapainya, tetek bengeknya serta perkara apa saja yang ada di dalamnya. Mereka adalah orang-orang yang cerdas dan pandai tentang bagaimana cara meraup dunia serta celah-celah untuk bisa mendapatkannya. Namun mereka lalai terhadap hal-hal yang akan mendatangkan manfaat untuk mereka di negeri akhirat. Seolah-olah akal mereka lenyap. Seperti halnya orang yang tidak memiliki akal dan pikiran.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/168)
Ibnu Abbas menjelaskan tentang makna ayat yang mulia ini, “Maksudnya adalah orang-orang kafir. Mereka itu mengetahui bagaimana cara untuk memakmurkan dunia akan tetapi dalam masalah-masalah agama mereka bodoh.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/168)
Sekelumit Tentang Keutamaan Ilmu
Pertama: Meningkatkan Derajat
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman dan diberikan ilmu di antara kalian beberapa derajat. Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al Mujadilah [58]: 11).
Al Hafizh menjelaskan, “Ada yang mengatakan tentang tafsirannya adalah: Allah akan mengangkat kedudukan orang beriman yang berilmu dibandingkan orang beriman yang tidak berilmu. Dan pengangkatan derajat ini menunjukkan adanya sebuah keutamaan…” (Fathul Bari, 1/172). Beliau juga meriwayatkan sebuah ucapan Zaid bin Aslam mengenai ayat yang artinya, “Kami akan mengangkat derajat orang yang Kami kehendaki.” (QS. Yusuf [12]: 76). Zaid mengatakan, “Yaitu dengan sebab ilmu.” (Fathul Bari, 1/172)
Ibnu Katsir menyebutkan di dalam tafsirnya sebuah riwayat dari Abu Thufail Amir bin Watsilah yang menceritakan bahwa Nafi’ bin Abdul Harits pernah bertemu dengan Umar bin Khattab di ‘Isfan (nama sebuah tempat, pen). Ketika itu Umar mengangkatnya sebagai gubernur Mekah. Umar pun berkata kepadanya, “Siapakah orang yang kamu serahi urusan untuk memimpin penduduk lembah itu?”. Dia mengatakan, “Orang yang saya angkat sebagai pemimpin mereka adalah Ibnu Abza; salah seorang bekas budak kami.” Maka Umar mengatakan, “Apakah kamu mengangkat seorang bekas budak untuk memimpin mereka?”. Dia pun menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya dia adalah orang yang pandai memahami Kitabullah, mendalami ilmu waris, dan juga seorang hakim.” Umar radhiyallahu’anhu menimpali ucapannya, “Adapun Nabi kalian, sesungguhnya dia memang pernah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sekelompok orang dengan sebab Kitab ini, dan akan merendahkan sebagian lainnya karena kitab ini pula.’ (HR. Muslim).
Kedua: Nabi Diperintahkan Berdoa untuk Mendapatkan Tambahan Ilmu
Di dalam Kitabul Ilmi Bukhari membawakan sebuah ayat yang artinya, “Wahai Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Thaha [20]: 114). Kemudian Al Hafizh menjelaskan, “Ucapan beliau: Firman-Nya ‘azza wa jalla, ‘Wahai Rabbku tambahkanlah kepadaku ilmu’. Memiliki penunjukan yang sangat jelas terhadap keutamaan ilmu. Sebab Allah ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan untuk apapun kecuali tambahan ilmu. Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu syar’i; yang dengan ilmu itu akan diketahui kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang mukallaf untuk menjalankan ajaran agamanya dalam hal ibadah ataupun muamalahnya, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, dan hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, menyucikan-Nya dari segenap sifat tercela dan kekurangan. Dan poros semua ilmu tersebut ada pada ilmu tafsir, hadits dan fiqih…” (Fathul Bari, 1/172)
Ketiga: Perintah Bertanya Kepada Ahli Ilmu
Ibnul Qayyim mengatakan, “Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci memerintahkan untuk bertanya kepada mereka (ahli ilmu) dan merujuk kepada pendapat-pendapat mereka. Allah juga menjadikannya sebagaimana layaknya persaksian dari mereka. Allah berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Kami mengutus sebelummu kecuali para lelaki yang Kami wahyukan kepada mereka: bertanyalah kepada ahli dzikir apabila kalian tidak mempunyai ilmu.’ (QS. An Nahl [16]: 43). Sehingga makna ahli dzikir adalah ahli ilmu yang memahami wahyu yang diturunkan Allah kepada para nabi.” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 24)
Keempat: Kebenaran Akan Tampak Bagi Ahli Ilmu
Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah Yang Maha Suci memberitakan mengenai keadaan orang-orang yang berilmu; bahwa merekalah orang-orang yang bisa memandang bahwa wahyu yang diturunkan kepada Nabi dari Rabbnya adalah sebuah kebenaran. Allah menjadikan hal ini sebagai pujian atas mereka dan permintaan persaksian untuk mereka. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang diberikan ilmu bisa melihat bahwa wahyu yang diturunkan dari Rabbmu itulah yang benar.” (QS. Saba’ [34]: 6).” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 24)
Kelima: Segala Sifat Terpuji Bersumber dari Ilmu
Ibnul Qayyim mengatakan, “Sesungguhnya seluruh sifat yang menyebabkan hamba dipuji oleh Allah di dalam al-Qur’an maka itu semua merupakan buah dan hasil dari ilmu. Dan seluruh celaan yang disebutkan oleh-Nya maka itu semua bersumber dari kebodohan dan akibat darinya…” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 128). Beliau juga menegaskan, “Dan tidaklah diragukan bahwasanya kebodohan adalah pokok seluruh kerusakan. Dan semua bahaya yang menimpa manusia di dunia dan di akhirat maka itu adalah akibat dari kebodohan…” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 101)
Kebahagiaan Ilmu
Ibnul Qayyim mengatakan, “Adapun kebahagiaan ilmu, maka hal itu tidak dapat kamu rasakan kecuali dengan cara mengerahkan segenap kemampuan, keseriusan dalam belajar, dan niat yang benar. Sungguh indah ucapan seorang penyair yang mengungkapkan hal itu,
Katakanlah kepada orang yang mendambakan
Perkara-perkara yang tinggi lagi mulia
Tanpa mengerahkan kesungguhan
Berarti kamu berharap sesuatu yang mustahil ada
Penyair yang lain mengatakan,
Kalau bukan karena faktor kesulitan
Tentunya semua orang bisa menjadi pimpinan
Sifat dermawan membawa risiko kemiskinan
Sebagaimana sifat berani membawa risiko kematian
(Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 111)
Beliau juga mengatakan, “Berbagai kemuliaan berkaitan erat dengan hal-hal yang tidak disenangi (oleh hawa nafsu, pen). Sedangkan kebahagiaan tidak akan bisa dilalui kecuali dengan meniti jembatan kesulitan. Dan tidak akan terputus jauhnya jarak perjalanan kecuali dengan menaiki bahtera keseriusan dan kesungguh-sungguhan. Muslim mengatakan di dalam Sahihnya, Yahya bin Abi Katsir berkata: ‘Ilmu tidak akan diraih dengan tubuh yang banyak bersantai-santai.’ Dahulu ada yang mengatakan, ‘Barangsiapa yang menginginkan hidup santai (di masa depan, pen) maka dia akan meninggalkan banyak bersantai-santai’.” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 112)
Inilah sekelumit pelajaran dan motivasi bagi para penuntut ilmu. Semoga yang sedikit ini bisa menyalakan semangat mereka dalam berjuang membela agama-Nya dari serangan musuh-musuh-Nya. Sesungguhnya pada masa yang penuh dengan fitnah semacam ini kehadiran para penuntut ilmu yang sejati sangat dinanti-nanti. Para penuntut ilmu yang berhias diri dengan adab-adab islami, yang tidak tergoda oleh gemerlapnya dunia dengan segala kepalsuan dan kesenangannya yang fana. Para penuntut ilmu yang bisa merasakan nikmatnya berinteraksi dengan al-Qur’an sebagaimana seorang yang lapar menyantap makanan. Para penuntut ilmu yang senantiasa berusaha meraih keutamaan di waktu-waktunya. Para penuntut ilmu yang bersegera dalam kebaikan dan mengiringi amalnya dengan rasa harap dan cemas. Para penuntut ilmu yang mencintai Allah dan Rasul-Nya di atas kecintaannya kepada segala sesuatu. Bergegaslah, sambut hari esokmu dengan ilmu! Janganlah kau larut dalam arus kebanyakan orang yang tidak berilmu.
Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi penulis dan pembacanya di hari yang tidak berguna lagi harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Wisma As Sunnah, Sabtu 11 Jumadil Ula 1429
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Writen By Anonim
Thaks For Visiting My Blogs