“Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik“ ( Al Maidah 47 ).
Muhammad bin Al-Wasi’, ulama Tabiin berkata “Orang yang pertama kali didakwa pada Hari Kiamat adalah para hakim, dan sangat sedikit dari mereka yang selamat.“ Ada seorang sufi terkenal diminta untuk memimpin lembaga peradilan. Sufi tersebut berkonsultasi kepada gurunya dan berkata, “Wahai guru, apabila aku jadi diangkat sebagai hakim, tidak ada yang akan aku lakukan kecuali amar makruf nahi mungkar“. Sang guru berkata, “Sebenarnya, apa yang ada dalam benakmu tersebut hanyalah tipu daya setan. Sebab, orang-orang sebelummu tidak mampu menegakkan apa yang engkau ucapkan“. Suatu ketika Syaikh Al-Muzani ditawari jabatan hakim agung (qadhi al-qudhat) oleh seorang gubernur di Irak. Beliau menolak dengan alasan masih banyak orang yang layak memegang jabatan tersebut. Namun, gubernur memaksanya untuk menerima jabatan tersebut. Akhirnya Al-Muzani menerima tawaran itu dengan satu syarat “Apa syarat yang engkau ajukan kepadaku?“ tanya gubernur. Al Muzani berkata “Aku menerima jabatan ini dengan syarat, engkau dan orang-orang di lingkungan kekuasaanmu bersedia dihukum olehku jika melakukan kekeliruan“. Gubernur menjawab, “Aku memilihmu sebagai hakim agung karena aku yakin engkau dapat menghukumku jika aku berbuat salah. Sebab, aku perhatikan, hakim-hakim di lingkunganku tidak mau menghukumku dan kerabatku jika melakukan kekeliruan. Aku bersyukur kepada Allah mendapatkan orang sepertimu. Semoga Allah memperbanyak manusia yang bermental seperti dirimu“.
Dari Buraidah RA, Rasul SAW bersabda “Hakim itu terdiri atas tiga kelompok, dua kelompok berada di neraka dan satu kelompok berada di surga. Kelompok pertama adalah hakim yang mengetahui kebenaran (fakta), kemudian ia menetapkan keputusannya berdasarkan kebenaran tersebut, maka ia akan berada di surga. Kelompok kedua, adalah Hakim yang tahu kebenaran (fakta) tetapi ia tidak memutuskan berdasarkan kebenaran itu, maka ia berlaku zalim dalam hukum dan tempatnya adalah di neraka. Ketiga, hakim yang tidak tahu kebenaran (fakta) dan menetapkan keputusan kepada manusia berdasarkan kebodohannya, maka tempatnya di neraka“.
“Menjadi hakim memang sangat berat, sebab jika ia berlaku adil dalam memutuskan perkara, maka akan banyak tantangannya. Sebaliknya bila ia curang dalam mengambil keputusan, maka neraka menjadi tempat tinggalnya kelak. ‘Barangsiapa menjadi hakim, maka sungguh ia disembelih dengan tanpa (menggunakan) pisau‘ (HR.Abu Daud dan Turmuzi),“ kilah Bahron Ashori dalam tulisannya Beban Berat Hakim’.
“Begitu beratnya tugas Hakim sampai-sampai mereka diibaratkan memiliki dua kaki, satu menginjak surga dan lainnya menginjak neraka. Kesalahan sedikit saja akan menimbulkan dampak fatal .Karena itu, seorang Hakim hendaknya sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan, jangan sampai keputusannya menzalimi orang tidak bersalah. Hati nurani seorang Hakim harus terus-menerus dipertajam,“ demikian antara lain ujar KH. Didin Hafidhuddin dalam tulisannya ‘Hakim di Neraka‘.
Selain fasik menurut Al Maidah 47, seorang Hakim yang durhaka juga disebut orang yang zalim. “Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim“ (Al Maidah 45). Bahkan lebih tegas lagi Allah SWT memberi label sebagai orang kafir, “Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut yang yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir“ (Al Maidah 44). Karena itu, pantaslah neraka sebagai tempat tinggal bagi hakim yang durhaka. “Allah tidak akan menerima salat seorang hakim yang durhaka (memutuskan perkara bukan berdasarkan pada apa yang telah diturunkan oleh Allah)“ (HR. Al Hakim).
Satu ketika Khalifah Umar bin Khattab menghadiri sidang pengadilan. Begitu melihat Umar datang, hakim yang memimpin sidang menunjukkan rasa hormat secara berlebihan kepadanya. Umar lalu berkata “Bila anda tidak mampu memandang dan memperlakukan Umar dari orang biasa, sama dan sederajat, Anda tidak pantas menduduki jabatan Hakim”. Khalifah Ali bin Abi Thalib, juga menentang keras segala bentuk diskriminasi hukum. Ia pernah memperotes seorang hakim, karena dia dipanggil dengan gelar Abu Al Hasan. Sementara lawannya disebut dengan sebutan biasa.
Ketika Usman bin Affan menjadi khalifah, Ibnu Umar diminta untuk menduduki jabatan hakim agung. Tapi Ibnu Umar menolak. Alasannya, ”Pertama, hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka. Kedua, hakim yang mengadili berdasar nafsu, maka juga di neraka. Ketiga, hakim yang berijtihad dan hasil ijtihadnya benar baru seimbang, artinya tidak dapat pahala dan tidak pula berdosa. Maka saya menolak jabatan itu,“ kilahnya.
Kita sadar bahwa supremasi hukum merupakan benteng pertahanan terakhir masyarakat. Jika hukum tegak, maka tegaklah masyarakat. Jika hukum rusak, maka akan rusak pula masyarakatnya. Wallahu’alamu bi ash shawab. **
Muhammad bin Al-Wasi’, ulama Tabiin berkata “Orang yang pertama kali didakwa pada Hari Kiamat adalah para hakim, dan sangat sedikit dari mereka yang selamat.“ Ada seorang sufi terkenal diminta untuk memimpin lembaga peradilan. Sufi tersebut berkonsultasi kepada gurunya dan berkata, “Wahai guru, apabila aku jadi diangkat sebagai hakim, tidak ada yang akan aku lakukan kecuali amar makruf nahi mungkar“. Sang guru berkata, “Sebenarnya, apa yang ada dalam benakmu tersebut hanyalah tipu daya setan. Sebab, orang-orang sebelummu tidak mampu menegakkan apa yang engkau ucapkan“. Suatu ketika Syaikh Al-Muzani ditawari jabatan hakim agung (qadhi al-qudhat) oleh seorang gubernur di Irak. Beliau menolak dengan alasan masih banyak orang yang layak memegang jabatan tersebut. Namun, gubernur memaksanya untuk menerima jabatan tersebut. Akhirnya Al-Muzani menerima tawaran itu dengan satu syarat “Apa syarat yang engkau ajukan kepadaku?“ tanya gubernur. Al Muzani berkata “Aku menerima jabatan ini dengan syarat, engkau dan orang-orang di lingkungan kekuasaanmu bersedia dihukum olehku jika melakukan kekeliruan“. Gubernur menjawab, “Aku memilihmu sebagai hakim agung karena aku yakin engkau dapat menghukumku jika aku berbuat salah. Sebab, aku perhatikan, hakim-hakim di lingkunganku tidak mau menghukumku dan kerabatku jika melakukan kekeliruan. Aku bersyukur kepada Allah mendapatkan orang sepertimu. Semoga Allah memperbanyak manusia yang bermental seperti dirimu“.
Dari Buraidah RA, Rasul SAW bersabda “Hakim itu terdiri atas tiga kelompok, dua kelompok berada di neraka dan satu kelompok berada di surga. Kelompok pertama adalah hakim yang mengetahui kebenaran (fakta), kemudian ia menetapkan keputusannya berdasarkan kebenaran tersebut, maka ia akan berada di surga. Kelompok kedua, adalah Hakim yang tahu kebenaran (fakta) tetapi ia tidak memutuskan berdasarkan kebenaran itu, maka ia berlaku zalim dalam hukum dan tempatnya adalah di neraka. Ketiga, hakim yang tidak tahu kebenaran (fakta) dan menetapkan keputusan kepada manusia berdasarkan kebodohannya, maka tempatnya di neraka“.
“Menjadi hakim memang sangat berat, sebab jika ia berlaku adil dalam memutuskan perkara, maka akan banyak tantangannya. Sebaliknya bila ia curang dalam mengambil keputusan, maka neraka menjadi tempat tinggalnya kelak. ‘Barangsiapa menjadi hakim, maka sungguh ia disembelih dengan tanpa (menggunakan) pisau‘ (HR.Abu Daud dan Turmuzi),“ kilah Bahron Ashori dalam tulisannya Beban Berat Hakim’.
“Begitu beratnya tugas Hakim sampai-sampai mereka diibaratkan memiliki dua kaki, satu menginjak surga dan lainnya menginjak neraka. Kesalahan sedikit saja akan menimbulkan dampak fatal .Karena itu, seorang Hakim hendaknya sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan, jangan sampai keputusannya menzalimi orang tidak bersalah. Hati nurani seorang Hakim harus terus-menerus dipertajam,“ demikian antara lain ujar KH. Didin Hafidhuddin dalam tulisannya ‘Hakim di Neraka‘.
Selain fasik menurut Al Maidah 47, seorang Hakim yang durhaka juga disebut orang yang zalim. “Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim“ (Al Maidah 45). Bahkan lebih tegas lagi Allah SWT memberi label sebagai orang kafir, “Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut yang yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir“ (Al Maidah 44). Karena itu, pantaslah neraka sebagai tempat tinggal bagi hakim yang durhaka. “Allah tidak akan menerima salat seorang hakim yang durhaka (memutuskan perkara bukan berdasarkan pada apa yang telah diturunkan oleh Allah)“ (HR. Al Hakim).
Satu ketika Khalifah Umar bin Khattab menghadiri sidang pengadilan. Begitu melihat Umar datang, hakim yang memimpin sidang menunjukkan rasa hormat secara berlebihan kepadanya. Umar lalu berkata “Bila anda tidak mampu memandang dan memperlakukan Umar dari orang biasa, sama dan sederajat, Anda tidak pantas menduduki jabatan Hakim”. Khalifah Ali bin Abi Thalib, juga menentang keras segala bentuk diskriminasi hukum. Ia pernah memperotes seorang hakim, karena dia dipanggil dengan gelar Abu Al Hasan. Sementara lawannya disebut dengan sebutan biasa.
Ketika Usman bin Affan menjadi khalifah, Ibnu Umar diminta untuk menduduki jabatan hakim agung. Tapi Ibnu Umar menolak. Alasannya, ”Pertama, hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka. Kedua, hakim yang mengadili berdasar nafsu, maka juga di neraka. Ketiga, hakim yang berijtihad dan hasil ijtihadnya benar baru seimbang, artinya tidak dapat pahala dan tidak pula berdosa. Maka saya menolak jabatan itu,“ kilahnya.
Kita sadar bahwa supremasi hukum merupakan benteng pertahanan terakhir masyarakat. Jika hukum tegak, maka tegaklah masyarakat. Jika hukum rusak, maka akan rusak pula masyarakatnya. Wallahu’alamu bi ash shawab. **
Judul: Renungan Bagi Penegak Hukum
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Writen By Anonim
Thaks For Visiting My Blogs
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Writen By Anonim
Thaks For Visiting My Blogs